Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sabtu, 08 Mei 2010

Anggota DPRD Sulteng Pascapelantikan

Sabtu, 08 Mei 2010
Mulai Start Mengejar Rupiah


JUMAT (25/9) kemarin 45 anggota anyar DPRD Sulteng mulai duduk di kursi dewan. Segala atribut mulia mulai melekat pada diri mereka setidaknya hingga lima tahun kedepan. Segala kehormatan, plus seabrek fasilitas materi juga melengkapi posisi mereka yang terhormat. Waktu yang Menjawab, apakah mereka benar-benar menjadi pembela rakyat atau tetap menjadi pengejar rupiah semata.
Keuangan anggota DPRD sebenarnya sudah dijamin oleh peraturan pemerintah. Besar pendapatan mereka tercantum dalam peraturan (PP) No 21/2007. Total dana, wakil rakyat bisa menerima gaji sekitar Rp 15 juta per bulan yang dipotong pajak penghasilan (PPh) 15 persen.
Jumlah itu variatif (lihat gratis). Bergantung posisi dan “keaktifan” anggota tersebut selama berkiprah di gedung dewan.
Di DPRD Sulteng, pendapatan anggota dewan “dipotong” pengambilan uang tunjangan komunikasi intensif (TKI). Sumber Radar Sulteng di DPRD Sulteng menyebutkan pada 2007 ada anggota yang tinggal menerima gaji sebesar Rp150 ribu bahkan ada yang nombok. Ini disebabkan potongan kredit di bank yang kelewat besar. Sementara gaji dan tunjangan yang diharapkan bisa menutupi kredit, tersedot untuk menutupi pengembalian dana TIK.
Jika tidak ada potongan dan pengambilan kredit di bank, sebenarnya gaji plus tunjangan anggota dewan total jenderal Rp15 juta dipotong PPh 15 persen. Itu berarti, paling duit Rp12 jutaan sudah pasti nyantol di kantong.
Hal itu dibenarkan salah satu mantang anggota komisi III DPRD Sulteng yang meminta namanya tidak ditulis. ‘’Yang murni gaji dewan, Rp2,5 juta ditambah dengan sejumlah tunjangan sekitar Rp15 jutaan sebelum dipotong PPh,’’ akunya.
Tentu, jatah fulus pejabat dewan akan lebih tinggi. Ketua DPRD, misalnya. Pendapatan resminya bisa mencapai Rp20 – 22 jutaan. Ketua DPRD Sulteng Murad U Nasir yang tidak mengambil dana TKI bisa menerima dana sebesar itu. Sedangkan dua rekannya yang lain menerima lebih kecil dari itu, karena ada keharusan mengembalikan dana TKI ke kas daerah.
Sebenarnya walaupun para anggota dewan, ada yang minus bahkan nombok, mereka masih bisa menyiasatinya dengan berbagai cara.
Salah satu pundi-pundi penerimaan anggota dewan adalah duit kunjungan kerja (kunker). Apalagi setiap anggota dewan mendapat jatah kunker 12 kali dalam setahun. Dan setiap kunker sudah pasti mereka dapat duit.
Kalau kunker ke Bali, bisa dapat Rp11 juta. Kalau ke Jakarta atau Sumatera dapatnya Rp10 juta. ‘’Kunker ke Bali lebih tinggi karena biaya akomodasi maupun konsumsi di sana lebih tinggi dibanding Jakarta atau Sumatera,’’ terang sumber.
Untuk ke kota lain, seperti Makassar atau Manado jumlahnya pun cukup luamayan masih bisa dapat Rp5 hingga 6 jutaan.
Sumber yang juga duduk dalam panitia anggaran (panggar) tersebut menambahkan, para anggota dewan kerap saling berebut dan ngotot melaksanakan kunker. Mereka juga berlomba-lomba melakukan konsultasi panitia khusus (pansus). Sebab, dalam konsultasi tersebut, misalnya ke Departemen Dalam Negeri, anggota dewan yang ikut mendapatkan uang Rp10 juta untuk kunjungan tiga hingga lima hari. Pada hal, dalam jangka waktu dua sampai empat bulan, selalu ada satu kali Pansus.
Masalah perjalanan dinas para anggota dewan memang sungguh keterlaluan. Mantan Ketua DPRD Sulteng Murad Nasir, bahkan pernah mengeluh ke media soal ini. ‘’Jika saya tidak masuk dalam dua hari saja, map SPPD bisa bertumpuk di atas meja. Biasanya substansi perjalanannya tidak sesuai dengan tupoksi dewan atau komisi yang bersangkutan,’’ ujar Murad, yang pernah gerah karena ada anggota dewan yang ke Pasar Masomba saja minta biaya perjalanan.
Selain kunker, anggota dewan juga mendapatkan jatah beberapa kali workshop atau pelatihan. Materinya bisa bermacam-macam. Mulai penyusunan anggaran hingga pembuatan materi peraturan daerah (Perda). Sumber ini mengatakan metode ini (woskshop, red) juga menjadi salah satu cara mengejar rupiah.
Radar Sulteng bahkan sering mendapati undangan dari lembaga tertentu di Jakarta yang ditujukan langsung kepada anggota dewan yang bersangkutan. Atas modal itu, kemudian dilampirkan ke pimpinan dewan sebagai dasar permintaan SPPD (surat perintah perjalanan dinas). Juga pernah ada satu lembar undangan difotocopy untuk beberapa orang.
Yang tak kalah menyedihkan, ada sebagian di antara workshop itu abu-abu. Misalnya, dalam jadwal, workshop dilaksanakan tiga hari. Namun, jelas sumber tersebut, workshop sering hanya berlangsung dua jam. ‘’Itu pun anggota dewan hanya datang, tanda tangan, duduk beberapa menit, lalu menghilang, nggak tau ke mana. Padahal, materi pelatihan bagus. Ada pakarnya juga,’’ tutur dia.
Namun hal itu dibantah oleh mantan ketua Komisi III Muharram Nurdin. ‘’Tidak benar itu. Terbukti kalau setiap selesai kegiatan kita selalu dimintai laporan tertulis dari pimpinan dewan,’’ bela Muharram.
Kalau dirinci, anggota dewan memang bergelimang pada “tiga hal“. Yakni, duit, duit dan duit. Tapi, apakah mereka benar-benar membawa uang yang berlimpah ke rumahnya? Sudah bukan rahasia bahwa anggota dewan juga harus setor ke partainya.
Belum lagi, mereka menyediakan duit khusus jika sewaktu-waktu didatangi konstituen yang tidak hanya datang menyampaikan aspirasi kepada sang wakil. Nyaris semua konstituen yang datang justru menengedahkan tangan, minta sumbangan.
Potongan fraksi tidak ketinggalan ikut ‘’menggeroti’’ duit wakil rakyat. Salah satu fraksi bahkan memotong gaji anggotanya hingga beberapa juta.
‘’Memang ini sudah menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan dari PKS. Bagi kami ini sudah lumrah sebagai dana dakwah,’’ kata politisi PKS, Marwan Hi Perry kepada Radar Sulteng beberapa waktu lalu.
Karena itu, tak jarang slip gaji yang diterima anggota dewan menunjukkan nilai minim. Tax home pay atau sisa bersih yang dibawa ke rumah kurang dari jumlah gaji yang mereka yang berlimpah-limpah itu. Bahkan, ada juga yang mendapatkan kurang dari Rp150 perbulan. Nilai tersebut begitu kecil karena ada juga anggota yang berutang atau mengajukan kredit melalui bank.

Namun, benarkah wakil rakyat kita begitu nelangsa? Begitu besarkah pengorbanan mereka demi mewakili rakyat sehingga gaji pun rela dipangkas begitu rupa? Secara logis, tentu tidak. Mereka mungkin tetap berupaya mengejar fulus “sampai titik darah penghabisan” Paling tidak, mereka tidak sampai “rugi” menjadi legislator. Pengakuan ini di ungkapkan sumber lain yakni rekanan yang terpaksa menyetor dananya gara-gara proyeknya yang dianggap tidak becus. Ia mengatakan, dirinya pernah tidak merasa nyaman karena dibayang-bayangi panggilan hearing. Kemudian ancaman black list. ‘’Dari pada repot mendingan kita cari aman saja,’’ katanya pasrah.

Pengamat politik Unair, Haryadi dalam kolomnya di Harian Jawa Pos mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai upaya anggota dewan untuk menanbah pendapatan. Berdasarkan penelitiannya dibeberapa kota di Indonesia, anggota dewan sering memaafkan momentum pengesahan anggaran untuk menambah pundi-pundi uangnya. Salah satu dimaksimalkan adalah perubahan anggaran keuangan (PAK).
Menurut dia, anggota dewan meminta jatah PAK 2-15 persen dari nilai anggaran yang di ajukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Mereka berani meminta karena SKPD tidak akan mendapatkan anggaran untuk kegiatan jika tidak mendapat pengesahan dewan. SKPD pun terpaksa menyetujui. ‘’Misalnya, dinas pekerjaan umum (PU) pada 2009 mengajukan dana
Rp2 miliar. Pada tahun berjalan, terjadi penyesuaian kebutuhan. Misalnya mereka membutuhkan Rp2,5 Miliar. Selisih Rp500 juta inilah yang di minta. Mereka minta jatah sekian persen dari jumlah itu,’’ tutur haryadi.
Haryadi menjelaskan, anggota dewan kerap menitipkan anggaran kepada SKPD. Dengan demikian, seolah-olah dinas yang menpunyai kegiatan, padahal anggota dewan yang melaksanakan. Contohnya, kegiatan kunjungan suatu daerah. ‘’SKPD akan diberi dana dengan syarat mengajak anggotan dewan sebagai rekanan untuk kunjungan itu,’’ ungkapnya.
Itu memang sekelumit kondisi yang melingkupi –paling tidak sebagian- annggota dewan yang terhormat di negeri ini.
Dan kemarin tepatnya (25/9) anggota baru DPRD Sulteng mulai bertugas. Mereka pun harus mulai menentukan pilihan. Berperan sebagai penyambung lidah rakyat atau mencari ‘’pekerjaan’’ yang mendatangkan duit. Jika yang terakhir yang dipilih, para anggota dewan sebaiknya mulai star mengejar rupiah saat hari pertama mereka menjabat, yakni sejak kemarin. (yar)

0 komentar:

Posting Komentar