Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sabtu, 01 Mei 2010

Mayday 2010 Diskusi AJI Palu

Sabtu, 01 Mei 2010
0 komentar
Diskusi Peringatan Hari Buruh Internasional///sub
Jurnalis Harus Bekali Diri dengan SDM Berkualitas

PALU – Bagi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jurnalis atau wartawan adalah bagian dari buruh maka tak heran jika Hari Buruh (Mayday) AJI bersama organisasi buruh lainnya menjadikan momen tersebut untuk menuntut hak-hak industrial. Tahun ini, AJI Palu menggelar aksi damai serta diskusi yang menghadirkan para pembicara yang berasal dari pengusaha media, pemerintah serta akademisi. Diskusi yang mengambil tema, wartawan juga buruh, upah layak bukan upah minimum, setidaknya mampu mengidentifikasi permasalahan mendasar yang menjadi penyebab pengusaha tidak bisa memberikan upah layak antara lain problem kualitas SDM di tingkat jurnalis sendiri maupun atmosfer bisnis media di Sulteng hingga regulasi perburuhan yang belum berpihak pada kaum buruh.

Menurut Ketua PWI Sulteng yang juga salah satu pengusaha media, H Kamil Badrun AR SE.M.Si, bahwa problem perburuan yang kemudian lebih bermuara pada perjuangan upah layak adalah sebuah diskursus yang tidak bisa hanya sekadar selesai di meja diskusi tetapi harus dicarikan solusi yang bijak tanpa harus mengabaikan kepentingan baik pengusaha maupun buruh itu sendiri. Menurut Direktur Utama PT Radar Sulteng Membangun – perusahaan yang menerbitkan Harian Radar Sulteng ini, dalam konteks perusahaan pers di Sulteng, problemnya disebabkan sejumlah faktor, salah satunya adalah SDM jurnalis dan moralitas pengusaha pers itu sendiri.

Terkait moralitas pengusaha pers, hal ini dapat dilihat ketika ada perusahaan tidak bisa menggaji wartawannya dan berharap wartawan tersebut dengan ‘’kreasinya’’ sendiri bisa mendapatkan uang dengan jumlah tertentu hanya dengan berbekal kartu pers. ‘’Fenomena ini ada. Sebagai Ketua PWI saya kerap mendapatkan laporan dari masyarakat terhadap hal-hal semacam ini. Penyebabnya karena perusahaan tidak menempatkan karyawan/wartawan sebagai aset yang harus dijaga. Nuansa eksploitatif akan sangat kental terasa,’’ beber Kamil. Pada kesempatan ini, Kamil juga berbagi tips agar perusahaan pers bisa eksis di tengah tantangan bisnis media yang cukup kompleks. Pimpinan harus kreatif menggarap advertorial atau berita-berita yang bisa dikerjasamakan dengan pihak lain untuk menopang kelangsungan bisnis pers. ‘’Ini jauh lebih bermartabat, lebih terhormat dari pada menjadikan isu-isu tertentu sebagai alat bargaining kepada lembaga maupun individu tertentu untuk kepentingan sesaat,’’ ujarnya mengingatkan.

Pada saat yang bersamaan katanya, jurnalis juga diminta tidak membekali diri dengan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Dengan kualitas SDM yang baik ungkap Kamil, akan menaikkan nilai bargaining dari wartawan itu sendiri terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Ada dua manfaat positif yang bisa diambil jika jurnalis membekali dirinya dengan pengetahuan yang memadai. Misalnya, perusahaan tidak segan-segan memberikan kompensasi yang tinggi jika wartawan dengan SDM yang dimilikinya mampu memberikan nilai positif terhadap perusahaannya. Atau jika wartawan keluar dari perusahaan pers tempatnya bekerja akan dengan mudah mendapatkan perusahaan sesuai yang diingininya. ‘’

Abdul Hadi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulteng, mengaku tidak punya kuasa melakukan intervensi terhadap perusahaan yang tidak bisa memenuhi upah minimum provinsi, karena ini terkait dengan kondisi perusahaan. Merujuk pada kasus di Kabupaten Buol, ketika Bupati Buol Amran Batalipu mengeluarkan kebijakan upah minimum kabupaten (UMK) sebesar Rp1 juta untuk buruh sawit, menurut Abdul Hadi, kebijakan tersebut akhirnya kandas di tengah jalan karena perusahaan yang tidak mampu memenuhi UMK tersebut. ‘’Kita tidak bisa memaksakan UMK atau UMP harus mutlak berlaku, karena ini terkait dengan kemampuan perusahaan yang bersangkutan. Kalau kita paksakan maka akan banyak investor yang hengkang,’’ kilahnya.

Sementara di sisi lain, keberadaan pengusaha atau investor mutlak diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Diskusi yang diikuti oleh sejumlah wartawan dan LSM ini juga mengungkap sisi kelam sejarah perburuhan di Sulawesi Tengah yang dalam lima tahun terakhir sejak 2005 – 2010, UMP Sulteng tidak pernah menyentuh angka Rp1 juta. Sekali lagi Abdul Hadi mengatakan, bahwa pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena menyangkut fluktuasi keuntungan yang didapat oleh pengusaha itu sendiri. ‘’Kalau kita paksa harus sesuai UMP, investor akan lari,’’ katanya menambahkan.

Azahari pembicara dari Untad mengemukakan, bahwa istilah upah layak tidak dikenal dalam aturan ketenagakerjaan, yang ada adalah kebutuhan hidup layak dengan kalori 3000 perhari bagi buruh lajang. Jika ada keinginan untuk mendorong upah layak maka perlu dinegosiasikan dengan perusahaan untuk dibuatkan dalam aturan tertentu. Aturan tersebut katanya mengatur soal hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pekerja dan pengusaha. Soal upah layak dan upah minimum di internal AJI terminology ini memang masih diperdebatkan. Terminology upah layak kemudian direduksi menjadi upah minimum yang kemudian melembaga menjadi istilah resmi penguasa.

Padahal menurut Desak Fiega Mahayasa, wartawan Harian MAL, upah minimum yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan saat ini. Sedianya diskusi ini menghadirkan pemerintah kota Palu, karena kasus perburuhan khususnya upah layak sering dialami buruh di kota Palu. Wakil Walikota Mulhanan Tombolotutu yang didapuk panitia untuk menyampaikan kebijakan di sektor perburuhan tidak hadir hingga diskusi usai. (yar)

UMP Provinsi Sulteng Pada 5 tahun Terakhir
2005 = Rp490 ribu
2006 = Rp575 ribu
2007 = Rp615 ribu
2008 = Rp670 ribu
2009 = Rp720 ribu
2010 = Rp770 ribu
Baca selengkapnya Yardin Hasan: 2010-04-25
read more